Pasar saham sepanjang bulan Februari mencatatkan kenaikan sebesar 6,5%. IHSG melanjutkan penguatan yang terjadi sejak awal tahun walaupun koreksi di penghujung bulan mulai memberikan sinyal guncangan yang menghantui. Di bulan yang sama, nilai tukar Rupiah melemah 1,4% dan imbal hasil obligasi meningkat 0,4%. Bicara imbal hasil yang meningkat, pemicunya adalah imbal hasil US Treasury yang meningkat sebesar 0,34%. Kenaikan imbal hasil ini dipicu oleh spekulasi membaiknya ekonomi Amerika Serikat paska pendistribusian vaksinasi yang lebih cepat dari perkiraan dan inflasi akan meningkat ke threshold 2% sehingga the Fed diperkirakan mulai meninggalkan sikap akomodatifnya dan mulai tidak melakukan pembelian surat berharga/taper sehingga membuat imbal hasil obligasi melesat naik. Kekhawatiran akan meningkatnya cost of fund dan terkoreksinya laba juga akhirnya memicu koreksi di pasar saham.
Secara korelasi, US bond yield dan pasar saham memang cenderung negatif dan ini bisa dijelaskan secara akademis di mana kenaikan bond yield terutama bond 10 tahun yang sering dijadikan acuan discount rate akan membuat valuasi saham menurun. Namun demikian korelasi di Indonesia tidak sekuat itu karena tingkat imbal hasil di Indonesia masih cenderung tinggi dan spread dengan inflasi masih cukup lebar. Akibatnya daya tarik obligasi Indonesia masih cukup baik. Satu hal yang perlu diwaspadai adalah dampak penguatan Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah. Secara relatif, memang penguatan Dolar Amerika Serikat akan melemahkan Rupiah, namun daya tarik Rupiah sendiri juga tergantung kondisi makro keseluruhan perekonomian Indonesia. Salah satu indikator penting adalah Current Account Deficit (CAD) Indonesia yang mengalami perbaikan tajam sepanjang masa pandemi karena berkurangnya impor. Indikator lainnya adalah masih tingginya spread imbal hasil Rupiah dengan inflasi seperti yang kami sebutkan sebelumnya. Dengan kondisi di atas ditambah masih baiknya potensi pemulihan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, nilai tukar Rupiah diperkirakan masih berpotensi untuk tetap survive di kondisi saat ini.
Kembali ke prospek investasi, kami melihat bahwa sentimen makro untuk terus berinvestasi tetap terjaga. Pemulihan ekonomi diperkirakan akan tetap terjadi seiring dengan program vaksinasi yang terus terjadi dan berbagai kebijakan stimulus dari Pemerintah Indonesia. Satu hal yang kami lakukan adalah mulai secara khusus melihat valuasi individual saham-saham dalam portofolio kami dan melakukan beberapa rotasi. Kami juga melihat prospek investasi di produk pendapatan tetap menjadi menarik dengan imbal hasil yang menyentuh 6,7% di mana dibandingkan dengan inflasi terakhir sebesar 1,38% adalah tingkat yang mulai menarik
Oleh: Marsangap P. Tamba (Direktur Utama PT. Danareksa Investment Management)